Header Ads

Pelaminan di Gunung Ciremai Via Palutungan





dok.Pribadi


#urbanmystery Narasumber id instagram @ekasardi :

Waktu itu sedang memasuki liburan lebaran, saya dan beberapa teman memutuskan untuk mendaki ke gunung Ciremai Via Palutungan. Kenapa lewat palutungan, karena kebetulan saya mempunyai teman yang asli Kuningan dan mereka sedang pulang kampung ke Kuningan. Jadi ada tempat kami untuk stay sebelum dan sesudah pendakian pikir saya.

Kami berenam berangkat dari Jakarta jam 12 malam melalui terminal kampung rambutan menuju Kuningan, Jawa Barat. Sampai sekitar subuh di Kuningan dan langsung di jemput oleh teman kami yang orang asli Kuningan tadi. Sampai di basecamp palutungan sekitar jam 6 pagi kami langsung melakukan registrasi untuk simaksi dan sarapan. Setelah semua beres kami pun melakukan packing ulang memastikan semua perlengkapan beres dan siap melakukan pendakian.

Kami berenam yaitu, saya, Rangga, Mamat, Way, Jodi dan Anton memulai perjalanan melalui Buper (bumi perkemahan) Ipukan sekitar jam 10 pagi. Ya saya cewek sendiri pada saat itu. Tapi saya dalam keadaan sangat fit dan tidak sedang “halangan”. Palutungan adalah trek pendakian gunung Ciremai dengan trek yang lumayan landai di awal, tapi sangat jauh karena kita harus memutar punggungan gunung sampai menyatu dengan trek Apuy dan bertemu di Simpang apuy.

Kami sampai di Cigowong setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan, kami memutuskan istirahat untuk mengisi perut. Di Cigowong memang terdapat banyak warung, tapi kami memutuskan untuk memasak sedikit perbekalan yang mudah di masak. Saya mulai memasak bersama Rangga, Jodi dan Anton mengisi botol kosong kami di mata air. Sedangkan Way dan Mamat langsung tertidur. Mungkin mereka lelah karna mereka bagian yang membawa tenda. Belum lama tertidur tiba-tiba Way terbangun dan teriak. Sontak itu mengagetkan kami yang berada disekitarnya. “kenapa lo way?” tanya saya.

“Perasaan gue baru tidur mak, terus gue mimpi di gerbang itu ada monyet gede warna item.” Tunjuk nya ke arah gerbang masuk cigowong, “terus marah-marah ke gue sampe melotot-melotot tuh monyet.”

Kami cuma saling pandang mendengar penjelasan Way, mungkin dia hanya kelelahan jadi mimpi buruk.

Setelah makan siang dan istirahat cukup kami meneruskan perjalanan ke atas sekitar jam 1 siang. Perjalanan mulai lebih terjal dari sebelumnya, dan hutan pun semakin rapat. Singkat cerita sampailah kami di pos 4 yaitu Pos Arban. Pada saat itu sudah jam setengah 5 sore.
Kami menemui ada sekitar tiga tenda di situ. Kami berhenti sejenak karena kelelahan menghadapi trek yang menguras tenaga.

“eh udah sore nih, masih mau lanjut jalan?” tanya Mamat.
“mau ngecamp disini emang?” saya balik bertanya

Karena tadi sebelum jalan kami sedikit diberikan pesan oleh teman kami yang asli Kuningan. “Kalau bisa jangan ngecamp di arban ya, isitirahat aja bentar trus lanjut lagi. Mending ngecamp diatas nya dikit atau sekalian di pesanggrahan.”

“Gue udah capek mak… ga sanggup ah kalo lanjut lagi ke atas. “ keluh Anton yang merupakan anggota termuda kami. Baru lulus SMA.
“Bentar deh, gue coba cari tempat yang enakan di atasan dikit sama mas Rangga,” usul Mamat.
Rangga dan Mamat pun beranjak dari tempat kami duduk, sebuah pohon yang bertuliskan “Jangan Bicara Sembarangan.”
Tapi belum sempat jalan jauh mereka sudah disapa oleh pendaki lain yang sudah lebih dulu mendirikan tenda disitu.

“Penuh banget mas ke atas. Saya udah jalan sampe pesanggrahan penuh banget. Musim liburan kali ya. Cuma disini yang sisa tempat. Disini aja ngecamp bareng-bareng kita.” Seru mas-mas gondrong.

Mendengar itu kami pun mengurungkan niat untuk berjalan lagi. Lagi pula ini sudah sore, saya sendiri paling anti nge-trek malam hari karena menggunakan kacamata pandangan makin kabur kalau gelap. Kami mendirikan 2 tenda lengkap dengan dapur umum di tengahnya. Way dan Mamat membuat hammock di sekitar tenda kami. Setelah berganti pakaian yang sudah basah karna keringat, saya pun mulai kegiatan memasak untuk makan kami malam ini.

Perasaan saya mulai tidak enak ketika hari mulai gelap. Rasanya seperti ada yang mengawasi saya. Entahlah mungkin ini hanya perasaan karena terlalu lelah berjalan. Saya masih konsentrasi memasak dibantu Anton, Rangga dan Jodi. Way dan Mamat asik hamockan sambil ngopi dan membakar rokok mereka.

Tiba-tiba saya ingin sekali menoleh ke arah kiri, ke tempat tenda-tenda tetangga berada. Pertama menoleh tidak ada apa-apa hanya ada tenda dan beberapa orang yang sepertinya sedang memasak juga. Saya kembali memasak, kemudian ingin menoleh lagi. Saya pun menoleh ke kiri lagi, tetap hanya ada tenda tapi kali ini mereka sudah masuk sepertinya ke dalam tenda. Saya memasak lagi, dan ketiga kali nya menoleh saya mengarah sedikit ke atas tenda-tenda itu tepatnya ke arah atas pepohonan tinggi itu. Dan seketika rasanya saya ingin pingsan ketika saya melihat sebuah kursi pelaminan tergantung ditengah dua pohon besar. Kursi pelaminan yang untuk mempelai pengantin duduki. Pelaminan itu kosong, hanya kursi saja. Saya buru-buru kembali memasak dan kali ini tangan saya sudah gemetar memegang pisau yang saya gunakan untuk memotong kangkung.

Saya mencoba menenangkan diri dengan membaca ayat-ayat Al-Quran yang saya bisa.

Rangga menyadari gelagat saya, “kenapa lo ka?”

“Gak apa-apa ngga” jawab saya sedikit gemetar.

Saya masih terus mencoba menenangkan diri tapi mata ini tidak bisa diatur, saya kembali menoleh kerah yang sama berharap pandangan saya itu salah. Setelah menoleh saya tetap mendapati pelaminan itu dan kali ini diisi oleh seorang wanita duduk diatasnya tapi wajah nya menghadap ke belakang. Kali ini saya sangat kaget dan tidak dapat mengendalikan diri lagi. Saya memang tidak berteriak tapi saya langsung loncat masuk ke dalam tenda. Masuk ke dalam sleeping bag dan terus membaca doa-doa yang saya bisa. Walaupun tidak berteriak tapi kelakuan saya itu membuat satu tim kaget. Way pun segera menghampiri saya, “Wey kenapa mak? kenapa lo tiba-tiba masuk tenda?”

“Nggak apa-apa way,  tiba-tiba dingin banget” saya tidak ingin membuat yang lain panik.

“Meriang lo?” tanyanya lagi.

“Iya, gue mau tidur aja ya. Maap gue gabisa lanjut masak.” Jawab saya singkat dan langsung menutup seluruh badan saya dengan sleeping bag.

Mereka pun berusaha mengerti dan melanjutkan masak sendiri, membuatkan saya teh hangat dan membiarkan saya tidur. Sepanjang malam, entah perasaan saya saja atau karna saya sedang ketakutan. Tapi saya merasa ada yang berjalan mengitari tenda. Kadang saya merasa lebih dari 1 orang mengitari tenda. Malam itu terasa sangat panjang bagi saya.

Sepertinya bukan hanya saya yang tidak bisa tidur nyenyak malam itu, karena kami baru terbangun sekitar jam 7 pagi. Rencana summit jam 3 pagi pun gagal. Kami memang sempat berjalan ke atas pagi itu tapi hanya sampai pos Pesanggrahan kami sudah turun lagi ke pos Arban lagi. Kami sepakat tidak ingin bermalam di pos Arban lagi, makanya kami
memutuskan segera turun menuju basecamp. Atau bila tidak sempat lebih baik kami bermalam di pos Cigowong.

Kami berjalan turun lumayan cepat karna tidak banyak istirahat. Sampailah kami di buper Ipukan sekitar jam setengah 6 sore. Kami bermalam disitu dan baru besok akan kembali ke Jakarta. Setelah mendirikan tenda dan bersih bersih kami pun bersantai dan saling bercerita, ternyata benar kami semua mengalami hal yang tidak mengenakan selama tidur di pos Arban. Kami sama-sama merasakan ada yang mengelilingi tenda. Saya pun menceritakan soal pelaminan yang saya lihat.

Dan setelah saya mamat pun mulai bercerita yang dia alami di pos Arban. “Gue kan sempet tidur di hammock tuh, terus gue kan ngerasa pengen pipis akhirnya gue bangun tapi pas gue melek semua nya gelap. Gak keliatan apa apa, gue mau bergerak dari hammock juga ga bisa. Terus gue baca-baca semampu gue. Gue merem lagi, trus gue takbir pas gue melek baru deh terang. Keliatan semuanya, gue langsung loncat dari hammock dan tetep mau pipis. Gue cari tempat yang aman, pas gue mau buka celana ternyata gesper gue, kancing dan resleting celana gue udah kebuka. Gue bodo amat kan ya, gue lanjut pipis tapi langsung masuk ke tenda, gue gak mau tidur di hammock lagi hiihh…”

“Nah, gue tau tuh mat pas lo bangun itu. Terus gue pindah kan ke hammock lo. Pas gue mau tidur lagi gue ngeliat ada sesuatu item diatas pohon tepat diatas kepala kita itu. Cuma item aja sih, ga jelas itu apa. Karena udah ngantuk berat gue lanjut tidur.” Lanjut Way.

Terlepas dari semua pengalaman yang kami alami di gunung Ciremai via palutungan itu kami tetap bersyukur bisa diberikan sehat dan selamat selama melakukan pendakian. Walaupun tidak sampai puncak tapi banyak pelajaran yang kami dapatkan disana. Soal manajeman waktu dan kepedulian sesama tim dalam pendakian. Ada baiknya kita selalu dapat mawas diri dan menjaga perilaku dimana pun kita berada apalagi di alam terbuka. (tamat)



Dilansir dari : https://urbanhikers.id/

No comments

Powered by Blogger.